Berita
Pencegahan KDRT
- Category: Artikel
- Jumat, 27 Desember 2013 - 15:34:48 WIB
- 194 Komentar
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkan beberapa tahun terakhir ini menjadi tren di kalangan masyarakat. Tidak hanya saja yang dialami oleh masyarakat kelas bawah tetapi juga masyarakat menengah ke atas bahkan isteri mantan menteri pun pernah ada yang melaporkan kasus KDRT yang dialaminya.
Drs M Juhriyadi
Perkembangan kasus KDRT dewasa ini ada kecenderungan meningkat, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Desa Provinsi Banten pada tahun 2010 berhasil mencatat 210 kasus KDRT baru yang terjadi di kabupaten dan kota, sementara pada tahun 2011 tercatat 320 kasus. Berarti kasus KDRT selama satu tahun terakhir yang dilaporkan mengalami kenaikan sebanyak 50 %. Setiap kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga menunjukan gejala bahwa tingkat ke harmonisan dalam keluarga itu belum baik, padahal seseorang membangun rumah tangga ingin membina keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang dalam suasana hidup bahagia dan sejahtera.
Dari hasil rekam mediasi yang dilaksanakan oleh setiap Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang ada di kabupaten/kota banyak faktor penyebab terjadinya KDRT, yang paling dominan adalah persepsi laki-laki (suami) tentang status dan peran perempuan (istri) dalam rumah tangga. Persepsi yang dibentuk oleh tata nilai budaya patriarki. Suami diposisikan sebagai kepala keluarga diartikan sebagai figur pimpinan yang bisa berbuat sewenang-wenang terhadap anggota keluarga termasuk istri, anak dan pembantu di rumah. Faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya KDRT dapat dikelompokan menjadi menjadi dua bagian yaitu, pertama, faktor internal yaitu tingkat individu.
Pengalaman pada waktu kecil, perilaku dan kebiasaan yang memicu perbuatan kekerasan seperti pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak, menyaksikan kekerasan dalam keluarga antara Ibu dan Bapak, tidak adanya figur ayah atau penolakan terhadap figur ayah dan minum alkohol atau obat-obatan pengalaman tersebut dapat mempengaruhi perkembangan psikologis dan kepribadian serta perkembangan biologis anak untuk melakukan kekerasan.
Kedua, faktor eksternal. Yaitu tingkat status sosial. Kemiskinan atau status sosial ekonomi yang rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Atau sebaliknya tuntutan gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan pendapatan keluarga dapat juga memicu terjadinya KDRT. Untuk mengatasi beberapa faktor penyebab KDRT diatas, maka perlu dilakukan upaya bagaimana mencegah KDRT tidak terjadi, serta perlu dikaji atau diidentifikasi upaya yang mendukung penghapusan KDRT.
Lingkup KDRT
Pengertian KDRT menurut pasal 1 UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 adalah ”Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbul nya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Lingkup kekerasan dalam rumah tangga dilihat dari aspek person atau pelaku, yaitu mere ka yang tinggal di dalam rumah tangga pelaku. Menurut pasal 2 UU PKDRT lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut.
Jenis KDRT
Ada beberapa jenis KDRT yaitu kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual, meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan atau pemaksaan hubungan seksual terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangganya, serta pemak saan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Dampak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya tidak jarang ber ujung dengan perceraian karena setiap kekerasan yang dilakukan didalamnya akan mempengaruhi emosi fisik dan psikis korban, data terakhir dari setiap Pengadilan Agama yang ada di Kabupaten/kota se Provinsi Banten angka perceraian pada tahun 2011 sebanyak 10% dilatarbelakangi oleh adanya KDRT.
Namun pengaruh secara khusus bila seseorang mengalami KDRT akan berdampak pada fisik dan Psikis korban, yaitu secara fisik, bagi korban yang mengalami kekerasan secara fisik akan terlihat dari perubahan bentuk fisik, misalnya lebam pada permukaan kulit, memar, luka, patah tulang, sehingga berdampak pada kecacatan, kehilangan fungsi alat tubuh atau indra, kerusakan pada organ reproduksi anak bahkan kematian. Secara psikis, korban yang mengalami kekerasan secara psikis dapat mengalami gangguan jiwa dari ringan sampai berat, antara lain anak menjadi tidak percaya diri dalam pergaulan sosial, stress, a-sosial, tidak peduli dengan lingkungan, menyendiri, depresi, dendam dan emosi yang tidak stabil.
Secara seksual, korban kekerasan dalam rumah tangga sebagai akibat kekerasan seksual terkadang mengalami gangguan fungsi reproduksi, selain itu berdampak terhadap jiwa korban sehingga korban mengalami trauma yang amat sangat dan tidak percaya diri dalam menatap masa depannya. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam membentuk sistem nilai dalam menanggulangi segala permasalahan yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan. meskipun keluarga merupakan unit terkecil masyarakat, namun keluarga banyak mempe ngaruhi Perjalanan hidup seseorang. Pada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan misalnya Selalu disebut bahwa keluarga yang tidak peduli dan tidak melakukan pembina an kepada pelaku kekerasan tersebut tentang nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dampak fornografi. Selain itu kestabilan dan keharmonisan keluarga perlu ditanamkan kepada setiap anggota keluarga guna memiliki pemahaman nilai-nilai luhur (agama) untuk saling mengasihi, membantu, menghormati dan menjaga perasaan orang lain.
Penanaman nilai-nilai kehidupan pada anggota keluarga hendaknya dimulai ketika mem bentuk keluarga baru, dalam keluarga Muslim 1 pasang suami-istri pada saat dinikahkan diharuskan membaca dan memahami sighat taklik yang mengandung nilai-nilai tanggungjawab bahwa seorang suami harus memiliki tanggung jawab untuk menafkahi, memiliki tanggung jawab untuk tidak menelantarkan dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi.(**)
Penulis adalah Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPPMD Provinsi Banten
0 Komentar